Berbagi Informasi tentang Materi-materi dan soal-soal yang ada di Lingkungan Sekolah ataupun Perkuliahan

Selasa, 25 April 2017

Makalah Pengertian Antropologi dan Manfaatnya

ANTROPOLOGI

1.      Pengertian Antropologi

Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Definisi Antropologi menurut para ahli
  • William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
  • David Hunter: Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
  • Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

2.      Sejarah Antropologi

Antropologi sebagai sebuah ilmu mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
1.      Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

2.      Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.



3.      Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

4.      Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil merdeka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

3.      Ruang Lingkup Antropologi

1.      Antropologi fisik / ragawi
adalah bagian antropologi yang mencoba mencapai suatu pengertian tentang sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya.
Kajian antropologi fisik adalah manusia sebagai makhluk fisik yang berbeda secara fenotipik (warna kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi badan dan bentuk tubuh ) maupun genotipik ( frequensi golongan darah ). cabang ilmu antropologi fisik antara lain:
a)      Paleoantropologi
Adalah ilmu yang membahas asal usul terjadinya dan evolusi makhluk manusia dengan menggunakan fosil-fosil manusia dari zaman dahulu yang tersimpan dalam lapisan bumi.
b)      Somatologi
Adalah ilmu antropologi fisik yang membahas terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari ciri-ciri tubuhnya.

2.      Antropologi budaya
Adalah bagian dari antropologi yang mempelajari segi-segi kebudayaan manusia atau merupakan cabang antropologi yang mengkhususkan mempelajari pola kehidupan masyarakat. cabang ilmu antropologi budaya antara lain:
a)      Arkeologi
Adalah ilmu antropologi budaya yang mempelajari kebudayaan pada zaman prasejarah dari berbagai fosil dan artefak / benda-benda peninggalan lama dengan maksud untuk menggmbarkan serta menerangkan perilaku manusia karena dalam peninggalan-peninggalan lama itulah terpantul ekspresi kebudayaannya

b)      Linguistik
Adalah ilmu antropologi budaya yang mempelajari bahasa berbagai suku bangsa di seluruh dunia.

c)      Etnologi
Merupakan bagian ilmu antropologi tentang asas-asas menusia, mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari bangsa-bangsa tertentu yang tersebar di muka bumi ini pada masa sekarang. Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiannya pada kebudayaan -kebudayaan zaman sekarang, telaahannya pun terpusat pada perilaku manusianya, sebagaimana yang dapat di saksikan langsung, dialami serta didiskusikan dengan pendukung kebudayaannya(haviland, 1999:17).

4.      Pendekatan Antropologi

Studi kebudayaan adalah sentral dalam antropologi. Bidang kajian utama antropologi adalah kebudayaan dan dipelajari melalui pendekatan. Berikut 3 macam pendekatan utama yang biasa dipergunakan oleh para ilmuwan antropologi. Antara lain:
1.      Pendekatan holistic :
Kebudayaan dipandang secara utuh (holistik). Pendekatan ini digunakan oleh para pakar antropologi apabila mereka sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan di pandang sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi (simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu masyarakat, para pakar antropologi merasa bahwa mereka harus memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan.

2.      Pendekatan komparatif :
Kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam antropologi untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan antropologi paling sering mempelajari masyarakat pra-aksara karena 2 alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan antropologi.


3.      Pendekatan historic :
Pengutamaan asal-usul unsur kebudayaan. Pendekatan dan unsur-unsur historik mempunyai arti yang sangat penting dalam antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan antropologi tertarik pertama-tama pada asal-usul historik dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus.

5.      Konsep-Konsep Antropologi

Sebagai ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi adalah penting karena pengembangan konsep terdefinisikan dengan baik merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi diantaranya :
1.      Kebudayaan
Secara umum kebudayaan mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna itu kontras dengan pengertian pengertian kebudayaan sehari-hari yang hanya merujuk pada bagian-bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian (D’Andrade,1995:1999).

2.      Evolusi
Secara sederhana, konsep evolusi megacu pada sebuah transformasi yang berlangsung secara bertahap. Dalam pandangan para antropolog, istilah evolousi yang merupakan gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tidak pernah putus, pada umumnya diterima sebagai awal landasan berpikir mereka.

3.      Daerah Budaya
Adalah suatu daerah geografis yang memiliki sejumlah ciri-ciri budaya dan kompleksitas lain yang dimilikinya (Banks,1977:274). Suatu daerah kebudayaan pada mulanya berkaitan dengan pertumbuhan kebudayaan yang menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsur-unsur lama kearah pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan tersebut.

4.      Enkulturasi
Konsep ini mengacu pada suatu proses pembelajaran kebudayaan (Soekanto,1993:167). Dengan demikian pada hakikatnya setiap orang sejak kecil sampai tua, melakukan proses enkulturasi, mengingat manusia sebagai manusia yang dianugerahi kemampuan untuk berpikir dan bernalar sangat memungkinkan untuk setiap waktu meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotornya.

5.      Difusi
Adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan secara meluas sehingga melewati batas tempat dimana kebudayaan itu timbul (Soekanto,1993:150). Menurut Everett M.Rogers alam karyanya Diffusion of innovation (1983), cepat tidaknya suatu proses difusi sangat erat hubunganya dengan empat elemen pokok yaitu sifat inovasi, komunikasi dengan saluran tertentu, waktu yang tersedia, dan sistem sosial warga masyarakat.

6.      Akulturasi
Adalah proses pertukaran ataupun saling memengaruhi dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri (Koentjaraningrat,1990:91).

7.      Etnosentrisme
Tiap-tiap kelompok cenderung untuk berpikir bahwa kebudayaan dirinya itu adalah superior (lebih baik dan lebih segalanya). Inilah yang disebut dengan etnosentrisme.

8.      Tradisi
Adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun.

9.      Ras dan Etnik
Ras adalah sekelompok orang yang memiliki sejumlah ciri biologi (fisik) tertentu atau suatu populasi yang memiliki suatu kesamaan dan sejumlah unsur biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh faktor hereditas atau keturunan(Oliver,1964:153).
Sedangkan etnik menurut Marger (1985:7), kajian etnik lebih menekankan sebagai kelompok sosial bagian dari ras yang memiliki ciri-ciri budaya yang sifatnya unik.

10.  Stereotip
Adalah istilah asing berasal dari bahasa Yunani, yaitu stereos yang berarti solid dan tupus yang berarti citra atau kesan. Suatu stereotip mulanya adalah suatu rencana cetakan yang begitu terbentuk sulit diubah.

11.  Kekerabatan
Menurut antropolog Robin Fox dalam karyanya Kinship and Marriage (1969) merupakan konsep inti dalam antropologi. Konsep kekerabatan tersebut merujuk pada tipologi klasifikasi kerabat menurut penduduk tertentu berdasarkan aturan-aturan keturunan dan aturan-aturan perkawinan.

12.  Magis
Konsep magis menurut seorang pendiri antropologi E.B.Tylor dalam Primitive Culure (1871) merupakan ilmu pseudo dan salah satu khayalan paling merusak yang pernah menggerogoti umat manusia.

13.  Tabu
Berasal dari bahasa Polinesia yang berarti terlarang. Secara spesifik, apa yang dikatakan terlarang adalah persentuhan antara hal-hal duniawi dan hal yang keramat, termasuk yang suci (misalnya, persentuhan dengan ketua suku) dan yang cemar (mayat).
14.  Perkawinan
Secara umum konsep perkawinan tersebut mengacu pada proses formal pemaduan hubungan dua individu yang berbeda jenis (walaupun kaum lesbi pun terjadi, namun itu bagian kasus) yang dilakukan secara seremonial-simbolis dan makin dikarakterisasi oleh adanya kesederajatan, kerukunan, dan kebersamaan dalam memulai hidup baru dalam hidup berpasangan.

6.      Teori –Teori Antropologi

1.      Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn
Teori ini dirintis oleh sepasang suami-istri antropolog Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn yang diuraikan dalam serangkaian karangannya (Kluckhohn, 1951; 1953; 1956); namun kemudian secara mendalam dituangkan dalam karya Florence Kluckhohn dan F.L. Strodtbeck dalam judul Variations in Value Orientation (1961). Menurut teori tersebut soalsoal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dalam tiap kebudayaan minimalnya ada lima hal, yaitu; (1) soal human nature atau soal makna hidup manusia; (2) soal man-nature, atau soal makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) soal time; yaitu persepsi manusia mengenai waktu; (4) soal activity; yaitu masalah makna dari pekerjaan, karya dan amal dari perbuatan manusia; (5) soal relational, yaitu soal hubungan manusia dengan sesame manusia. Lima masalah inilah yang disebut value orientations atau “orientasi nilai budaya”. Berdasarkan isi teori orientasi nilai tersebut:
a.       Dalam kaitannya dengan makna hidup manusia, bagi beberapa kebudayaan yang menganggap bahwa hidup itu adalah sumber keprihatinan dan penderitaan, maka kemungkinan variasi konsepsi orientasi nilai budayanya dirumuskan Kluckhohn dengan kata “evil” Sebaliknya, dalam banyak kebudayaan yang mengganggap hidup itu adalah sumber kesenangan dan keindahan, dirumuskannya dengan kata “good”.
b.      Berkenaan dengan soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan yang mengkonsepsikan alam sedemikian dahsyat dan sempurna, sehingga manusia sepatutnya tunduk saja kepadanya (subjucation to nature). Namun terdapat juga kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya, sejak usia dini walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, namun nalar manusia harus mampu menjajagi rahasia-rahasianya untuk menaklukkan dan memanfaatkannys gunua memenuhi kebutuhannya (mastery over nature).. Juga terdapat pula alternatif lain yang mengehendaki hidup selaras dengan alam (harmony with nature).
c.       Dalam kaitannya dengan soal persepsi manusia dengan waktu, ada kebudayaan yang memetingkan masa sekarang (present), sementara banyak pula yang berorientasi ke masa depan (future), Kemungkinan besar untuk tipe pertama adalah pemboros, sedangkan untuk tipe kedua adalah manusia yang hemat.
d.      Dalam kaitannya dengan soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, banyak kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk mencari makan, selain untuk bereproduksi, hal ini dirumuskan Kluckhohn dengan kata “being”. Sebagian kebudayaan menganggap bahwa hidup itu lebih luas daripada bekerja; seperti menolong orang lain, dikelompokkannya dalam kata “doing”.
e.       Dalam kaitannya dengan hubunganmanusia antar sesama manusia, banyak kebudayaan yang mengajarkan sejak awal untuk hidup bergotong-royong (collaterality) serta menghargai terhadap perilaku pemuka-pemukanya sebagai acuan kebudayaan sendiri (lineality). Sebaliknya, banyak kebudayaan yang menekankan hak individu yang menekankan kemandirian, maka orientasinya adalah memetingkan mutu dari karyanya, bukan atas senioritas kedududukan, pangkat, maupun status sosialnya.

2.      Teori Evolusi Sosiokultural:Paralel-Konvergen-Divergen Sahlins & Harris
Istilah “evolusi” gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang berkembang dari satu bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tak pernah putus terkenalnya memang oleh Charles Darwin yang ditulis dalam buku Origin Species (1859), walaupun kata-kata itu sudah dikenal sebenarnya sejak zaman Yunani kuno, dan sejumlah pemikir sejak masa itu telah membuat postulat yang bersifat evolusioner (Sanderson., 1995: 29).
Istilah “evolusi” tersebut berasal dari bahasa Latin “evolutis” yang berarti “pembukaan gulungan”. Ini jelas bahwa “evolusi” menyangkut suatu “pembentangan” atau “perkembangan”, sebuah proses di mana sistem sosiokultural mulai menyadari kemungkinankemungkinan potensial yang sejak awal melekat di dalam dirinya. Ini menyiratkan bahwa evolusi adalah gerakkan ke arah “tujuan” akhir, bahwa berbgagai masyarakat berkembang dengan cara yang sama sehingga embrio yang matang menjadi organisme yang sehat yang hidup di luar tubuh induknya. Dari sinilah istilah evolusi yang semula terbatas pada aspek biologi, kemudian meluas dalam berbagai bidang; seperti; (1) Evolusi Sosial Universal oleh Herbert Spencer (1820- 1903) dalam karyanya Principles of Sociology (1876-1896), (2) Evolusi Keluarga oleh J.J. Bachoven dalam bukunya Das Mutterrecht atau Hukum Ibu (1861); (3) Evolusi Kebudayaan oleh E. B. Taylor (1832-1917) dalam bukunya Primitive Culture dan Lewis H. Morgan (1818- 1881) dalam bukunya Ancient Society (1877); (4) Evolusi Religi oleh E.B. Taylor (1832- 1917) dan J.G. Frazer (1854-1941) dalam bukunya Totemism and Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913). Hanya persoalannya adalah karena evolusi sosiokultural tidak sama dengan pengertian evolusi biologis, tidak ada “tujuan” akhir bagi evolusi sosiokultural, dan tidak ada “perkembangan” ke arah keadaan akhir. Beberapa penganut evolusionisme berpendapat bahwa arah kecenderungan utama dalam evolusi sosiokultural adalah bertambanhnya kompleksitas masyarakat (Parson, 1966, 1977; Carneiro, 1972). Menurut dua antropolog (yang sebetulnya tidak bersatu) yakni Marshall Sahlins (1960) dan Marvin Harris (1968) bahwa:
a.       Evolusi sosiokultural meliputi seluruh sistem sosiokultural maupun komponen-komponen terpisah dari sistem tersebut. Biasanya terjadi bahwa perubahan berawal dari suatu komponen (atau sub-komponen) dan perubahan ini menimbulkan perubahan-perubahan pada komponen yang lain. Seluruh mata-rantai sebab dan akibat bergerak sehingga akhirnya menghasilkan transformasi pada seluruh sistem sosiokultural.
b.      Evolusi sosiokultural bukanlah proses tunggal, unitary, yang terjadi dengan cara yang sama pada seluruh masyarakat. Sebagaimana evolusi biologis, evolusi sosiokultural mempunyai karakter “ganda” (Sahlin, 1960). Pada suatu sisi ia merupakan proses yang meliputi transformasi menyeluruh pada masyarakat manusia. Ia memperlihatkan suatu karakter umum dan pola terarah dalam semua masyarakat yang mengalaminya. Proses ini bisanya disebut “evolusi umum” atau general evolution (Sahlins, 1960). Namun di sisi lain evolusi sosiokultural memperlihatkan divesifikasi adaptif yang mengikuti banyak garis yang berbeda-beda dalam banyak masyarakat. Rincian-rincian spesifik dari perubahan evolusioner umumnya berbeda dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Polaperubahan ini secara tipikal disebut evolusi spesifik atau specific evolution (Sahlin, 1960).
c.       Pembedaan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: Evolusi Paralel; Evolusi Konvergen; dan Evolusi Divergen (Harris, 1968).
d.      Evolusi Paralel; adalah merupakan evolusi yang terjadi dalam dua atau lebih sosiobudaya atau masyarakat yang berkembang dengan cara yang sama dan dengan tingkat yang pada dasarnya sama. Dalm hal ini dapat diambil contoh masyarakat pada zaman prasejarah; di zaman berburu dan meramu yang kemudian meningkat ke zaman memelihara binatang dan bercocok tanam. Kalaupun terjadi perubahan, namun pada umumnya mereka memiliki pola-pola kehidupan yang serupa.
e.      Evolusi Konvergen; adalah terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula berbeda perkembangannnya namun mengikuti pola yang serupa kemajuannya. Contohnya sebut saja beberapa negara industri seperti Jepang dan Amerika mulanya mempunyai sejarah peradaban yang jauh berbeda, namun akhirnya memiliki banyak persamaan kemajuan yang serupa.
f.       Evolusi Divergen; adalah terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula mengikuti banyak persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai tingkat perkembangan yang jauh berbeda. Dalam hal ini Geertz (1963) memberi contoh Indonesia dengan Jepang, mulanya memiliki banyak persamaan pola sampai abad ke tujuh belas. Akan tetapi dalam perkembangannya belakangan ini jauh berbeda, dimana Jepang melampaui Indonesia sebagai negara maju dengan standar hidup yang tinggi, sedangkan Indonesia hampir tetap seperti dahulu dan termasuk “negara berkembang” kalau bukan terbelakang.

3.      Teori Evolusi Kebudayaan Lewis H. Morgan
Lewis H. Morgan (1818-1881) adalah seorang perintis antropolog Amerika terdahulu di mana sebagai karir awalnya adalah seorang ahli hukum yang banyak melakukan penelitian atas suku Indian di hulu Sungai St. Lawrence dekat kota New York. Karya terpentingnya berjudul Ancient Society (1987) yang memuat delapan tahapan tentang evolusi kebudayaan secara universal. Adapun dari delapan tahapan tersebut adalah;
a.       Zaman Liar Tua; merupakan zaman sejak adanya manusia sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan kepandaian meramu, mencari akar-akar tumbuhtumbuhan liar.
b.      Zaman Liar Madya; merupakan zaman di mana manusia menemukan senjata busur-panah; pada zaman ini pula manusia mulai mengubah mata pencahariannya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai sebagai pemburu.
c.       Zaman Liar Muda; pada zaman ini manusia dari persenjataan busur-panah sampai mendapatkan barang-barang tembikar, namun masih berburu kehidupannya.
d.      Zaman Barbar Tua; pada zaman ini sejak pandai membuat tembikar sampai mulai beternak maupun bercocok tanam.
e.      Zaman Barbar Madya; yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai kepandaian membuat benda-benda/alat-alat dari logam.
f.        Zaman barbar Muda; yaitu zaman sejak manusia memiliki kepandaian membuat alat-alat dari logam sampai mengenal tulisan.
g.       Zaman Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam.
h.      Zaman Peradaban masa kini; sejak zaman peradaban tua/klasik sampai sekarang

4.      Teori Evolusi Animisme dan Magic dari Taylor dan Frazer
Edward Burnett Taylor (1832-1917) dan Sir James George Frazer (1854-1941) adalah seroang perintis antropologi sosial-budaya di Inggeris (Taylor) dan seorang lagi ahli folklore Skotlandia yang banyak menggunakan bahan etnografi yang sekaligus termasuk kelompok evolusionisme (Frazer). Jika Taylor terkenal seorang otodidak yang produktif dengan karyanya Research into the Early History of Mankind and the Development of Civilization (1865), kemudian Primitive Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religian, Language, Art, and Custom (1871) yang menempatkannya sebagai ahli teori evolusi budaya dan religi, sedangkan Frazer, dua karyanya yang terkenal adalah Totemism, and Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913). Karya yang kedua inilah yang banayak berhubungan dengan teori agama, magi, dan sihir, yang secara garis besar inti teorinya sebagai berikut:
a.       Animisme adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup dibalik semua benda, dan animisme merupakan pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama (Pals,2001: 41).
b.      Asal –mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, yang disebabkan dua hal, yaitu: (1) perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati. Di sinilah mausia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu; (2) Peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmani dan rohani/jiwa (Taylor, 1871/1903; 429).
c.       Manusia memecahkan beberapa persolan hidupnya selalu dengan akal dan system pengetahuannya. Tetapi karena kemampuan akal dan sistem pengetahuan tersebut terbatas, maka ia juga menggunakan magic atau ilmu gaib. Dalam pandangan Frazer adalah semua tindakan manusia untuk mencapai maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta seluruh kompleks yang ada dibelakangnya.
d.      Ilmu gaib mulanya hanya untuk mengatasi pemecahan masalah hidup manusia yang berada di luar kemampuan akal dan sistem pengetahuannya, dan saat itu agama (religi) belum ada..
e.       Karena penggunaan magic tidak selalu berhasil (bahkan kebanyakan gagal) maka mulailah ia yakin bahwa alam semesta didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia. Dari anggapan ini kemudian berasaha menjalin hubungan dengan mahluk halus itu dan timbullah agama (Koentjaraningrat, 1987: 54).
f.       Antara agama dan magic itu berbeda. Agama sebagai “cara mengambil hati untuk atau menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib dan kehidupan manusia (Frazer, 1931: 693). Sedangkan magic dilihatnya sebagai usaha untuk memanipulasikan “hukum-hukum” alam tertentu yang dipahami. Jadi magic semacam ilmu pengetahuan semu (pseudo-science), bedanya dengan ilmu pengetahuan modern karena konsepsinya yang salah tentang sifat dasar hukum tertentu yang mengatur urutan terjadinya peristiwa.
g.      Magic memiliki dua prinsip utama. Pertama, like produce like (persamaan menimbulkan persamaan) disebutnya sebagai magic simpatetis. Misal di Burma pemuda yang ditolak cintanya, ia akan memesan boneka yang mirip dengan rupa pacarnya kepada tukang sihir. Jika boneka itu dilempar ke dalam air yang diserta dengan guna-guna tertentu, si gadis penolak akan gila. Dengan demikian nasib si gadis akan serupa atau sama dengan nasib siboneka sebagai tiruannya. Prinsip kedua, adalah prinsip magic senggol (contagious magic), yaitu bahwa benda atau manusia yang pernah saling berhubungan, sesungguhnya dapat saling mempengaruhi, kendatipun hanya seutas rambut, kuku, gigi, dan sebagainya. Sebagai contoh suku Basuto di Afrika Selatan akan hati-hati mencabut giginya jangan sampai kesenggol oleh orang lain yang dapat menyalahgunakan maksudnya.
5.      Teori Evolusi Keluarga J.J. Bachoven
J.J. Bachoven adalah seorang ahli hukum Jerman yang banyak mempelajari etnografi berbangsa bangsa (Yunani, Romawi, Indian, termasuk juga Asia Afrika). Karya monumentalnya ditulis dengan judul Das Mutterrecht atau ”Hukum Ibu” (1967). Inti dari teori Evolusi Keluarga dari Bachoven tersebut bahwa ”Seluruh keluarga di seluruh dunia mengalami perkembangan melalaui empat tahap (Koentjaraningrat, 1987: 38-39)., yakni:
a.       Tahap Promiskuitas; di mana manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, yang mana laki-laki dan perempuan berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok-kelompok keluarga inti belum ada pada waktu itu. Keaadaan tersebut merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
b.      Lambat-laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat. Oleh karena itu pada masa ini anak-anak mulai mengenal ibunya belum mengenal ayahnya. Di sinilah peran ibu merangkap sebagai sebagai kepala keluarga atau rumah tangga. Pada masa ini pula hubungan/perkawinan antara ibu dengan anak dihindari, dengan demikian timbul adat exogami. Pada system masyarakat yang makin luas demikian dinamakan sistem matriarchate, di mana garis keturunan ibu sebagai satu-satunya ynng diperhitungkan.
c.       Tingkat berikutnya adalah sistem patriarchate, di mana ayah menjadi kepala keluarga. Perubahan dari matriarchate ke partrirchate tersebut setelah kaum pria tidak puas dengan keadaan sosial yang mengedepankan peranan perempuan (ibu). Ia kemudian mengambil calon-calon istri dari kelompok yang bebeda untuk dibawa ke kelompoknya sendiri. Dengan demikian keturunan yang mereka dapatkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria. Kejadian itulah yang secara lambat laun mengubah tradisi matrarchate ke patriarchate.
d.      Pada tingkat yang terakhir, di mana terjadi perkawinan tidak selalu dari luar kelompok (exogami) tetapi bisa juga dari dalam kelompok yang sama (endogami), memungkinkan anak-anak-anak secara langsung mengenal dan banyak berhubungan dengan ibu dan ayahnya. Hal ini lambat laun sistem patriarchate mengalami perubahan / hilang menjadi suatu bentuk keluarga yan dinamakan ”parental”.

6.      Teori Upacara Sesaji Smith
W. Robertson Smith (1846-1894), adalah seorang ahli teologi, ilmu pasti, dan bahasa serta sastera Semit yang berasal dari Universitas Cambridge. Tulisannya yang terkenal berjudul Lectures on Religion of the Semites (1889), Isi pokok buku itu yang erat dengankaitannya dengan teori sesaji tersebut, menurut Koentjaraningrat (1987: 67-68) dapat dikemukakan bahwa terdapat tiga gagasan penting mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya, sebagai berikut:
a.       Gagasan pertama; di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi analisis yang khusus. Suatu hal yang menarik dalam banyak agama upacara itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya itu berubah.
b.      Gagasan kedua; bahwa upaca religi atau agama tersebut, biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat (pemeluk religi atau agama), mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi keikusrtaan mereka dalam upacara itu memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda namun melalui kekuatan solidaritas sosial, mampu memberikan dorongan yang bersifat memaksa atas beberapa individu yang berbeda.
c.       Pada prinsipnya upacara sesaji, di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, hakikatnya sama sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa. Itulah sebabnya dalam upacara sesaji bukan semata-semata kehidmatan yang dicari, melainkan juga kemeriahan dan kekeramatan, disamping kehidmatan.

7.      Tujuan dan Kegunaan Antropologi

            Antropologi memang merupakan studi tentang umat manusia. Ia tidak hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat akademis, tetapi juga merupakan suatu cara hidup yang berusaha menyampaikan kepada para mahasiswa apa yang telah diketahui orang (Haviland,1999:19). Dalam arti yang sedalam-dalamnya, banyak sesuatu yang mungkin mustahil sebab apa yang diketahui dengan cara hidup bersama dengan mempelajari orang lain di dunia yang asing, bukan hanya orang-orang asing itu, tetapi akhirnya pun tentang diri sendiri. Oleh karena itu, kerja lapangan dalam antropologi sungguh-sungguh merupakan suatu inisiasi karena menimbulkan suatu transformasi. Begitu pun dengan pengalaman karena memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pengungkapan diri (self-expression) dan cara hidup baru yang menuntut suatu penyesuaian baru kepada segala sesuatu yang aneh, tidak menyenangkan, asing, serta memaksa orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang mungkin tidak akan pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan biasa (Haviland,1999:20).
            Sebagai ilmu tentang umat manusia, antropologi melalui pendekatan dan metode ilmiah berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang manusia dan perilakunya, dan untuk mendapat pengertian yang tidak apriori serta prejudice tentang keanekaragaman manusia. Kedua bidang besar dari antropologi adalah antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai organisme biologis yang tekanannya pada upaya melacak evolusi perkembangan manusia dan mempelajari variasi-variasi biologis dalam species manusia. Sedangkan antropologi budaya berusaha mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Dimana kebudayaan dapat merupakan peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Haviland, 1999:21).
            Diantara ilmu-ilmu sosial dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan, tujuan, dan manfaat yang unik karena bertujuan dan bermanfaat dalam merumuskan penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas semua aspek biologis manusia dan perilakunya di semua masyarakat, dan bukan hanya masyarakat Eropa dan Amerika Utara saja. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi menaruh perhatian banyak atas studinya terhadap bangsa-bangsa non-Barat.
            Selain itu antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secara objektif dan sistematis (Kapplan dan Manners, 1999:33). Seorang ahli antropologi dituntut harus mampu menggunakan metode-metode yang mungkin juga digunakan  oleh para ilmuwan lain dengan mengembangkan hipotesis atau penjelasan yang dianggap benar, menggunakan data lain untuk mengujinya, dan akhirnya menemukan suatu teori, yaitu suatu sistem hipotesis yang telah teruji. Sedangkan data yang digunakan ahli antropologi dapat berupa data dari suatu masyarakat atau studi komparatif di antara sejumlah besar masyarakat.

8.      Hubungan Ilmu Antropologi Dengan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya

Mengenai hubungan antropologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, Koentjaraningrat (1981: 35-41) mengemukakan sebagai berikut:
1.      Hubungan antropologi dengan sosiologi,
Sepintas lalu lebih banyak ke arah kesamaannya. Namun demikian sosiologi yang pada mulanya merupakan bagian dari ilmu filsafat, sejak lahirnya sosiologi oleh Auguste Comte (1789-1857), ilmu tersebut bercirikan positivistik yang objek kajiannya adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis maupun suku bangsa, komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, budaya, bisnis dan organisasi lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hunt, 1991: 4). Sosiologi juga mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya. Dengan demikian sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia terutama dengan fokus melihatnya dari sudut hubungan antar manusia, dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat.
Demikian juga antropologi, yang berarti “ilmu tentang manusia’. Dahulu istilah ini itu dipergunakan dalam arti yang lain yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia” (malahan pernah juga dalam arti “ilmu anatomi”. Dalam perkembangannya istilah antropologi juga sering disejajarkan dengan ethnologi walaupun bebeda. Cultural anthropology akhir-akhir ini dipakai di Amerika Serikat dan negara-negara lain termasuk Indonesia, untuk menyebut bagian antropologi dalam kajian non-fisik (budayanya).
Dalam antropologi budaya inilah mempelajari gambaran tentang perilaku manusia dan konteks sosial-budayanya. Jika saja sosiologi orientasinya memusatkan perhatian secara khusus kepada orang yang hidup di dalam masyarakat modern, sehingga teori-teori mereka tentang perilaku manusia cenderung “terikat pada kebuadayaan tertentu (culture-bound); artinya teori-teori ini didasarkan atas asumsi-asumsi tentang dunia dan realitas yang sebenarnya merupakan bagian dari kebudayaan Barat mereka sendiri, biasanya kebudayaan versi kelas menengah, yang dikhususkan untuk orang-orang profesi. Sebaliknya antropologi budaya berusaha mengurangi masalah keterikatan teori kepada kebudayaan tertentu dengan cara mempelajari seluruh umat manusia dan tidak membatasi diri kepada studi tentang bangsa-bangsa Barat; para ahli antropologi menyimpulkan bahwa untuk memperoleh pengertian yang memadai tentang perilaku manusia, karena itu seluruh umat manusia harus dipelajari (Haviland, 1999: 12). Barangkali lebih daripada ciri-ciri lain, yang mebedakan antropologi budaya dari ilmu-ilmu sosial lainnya itu ialah perhatiannya kepada masyarakatmasyarakat non-Barat.

2.      Hubungan antropologi dengan psikologi
Hal ini nampak karena dalam psikologi itu pada hakekatnya mempelajari perilaku manusia dan proses-proses mentalnya. Dengan demikian dalam psikologi membahas faktor-faktor pnyebab perilaku manusia secara internal (seperti motivasi, minat, sikap, konsep diri, dan lain-lain). Sedangkan dalam antropologi khususnya antropologi budaya itu lebih bersifat faktor eksternal (lingkungan fisik, lingkungan keluarga, lingkungan sosial dalam arti luas). Kedua unsur itu saling berinteraksi satu sama lain yang menghasilkan suatu kebudayaan melalui proses belajar. Dengan demikian keduaduanya memerlukan interaksi yang intens untuk memahami pola-pola budaya masyarakat tertentu secara bijak. Tidak mungkin kita dapat memahami mengapa fenomena Oedipus Complex itu tidak universal seperti yang diteorikan Freud ? Di sinilah B. Malinowski meneliti pemahan psikologi yang disertai kajian budaya yang mendalam telah membantah teori psikoanalistis murni (Koentjaraningrat, 1987: 170-171). Selain itu juga ia telah berhasil mengembangkan teori fungsionlisme yng bersifat sintesis psikologi-kultural, yang isinya bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

3.      Hubungan antropologi dengan ilmu sejarah
Lebih menyerupai hubungan antara ilmu arkheologi dengan antropologi. Antropologi memberi bahan prehistory sebagai pangkal bagi tiap penulis sejarah dari tiap penulis sejarah dari tiap bangsa di dunia. Selain itu, banyak persoalan dalam historiografi dari sejarah sesuatu bangsa dapat dipecahkan dengan metodemetode antropologi. Banyak sumber sejarah berupa prasasti, dokumen, naskah tradisional, dan arsip kuno, di mana pernannya sering hanya dapat memberi peristiwa-peristiwa sejarah yang terbatas kepada bidang politik saja. Sebaliknya, seluruh latar belakang sosial dari peristiwa-peristiwa politik tadi sukar diketahui hanya dari sumber-sumber tadi. Konsep konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan oleh antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, akan memberi pengertian banyak kepada seorang ahli sejarah untuk mengisi latar belakang dari peristiwa politik dalam sejarah yang menjadi objek penyelidikannya.
Demikian juga sebaliknya bagi para ahli antropologi jelas memerlukan sejarah, terutama sekali sejarah dari suku-suku bangsa dalam daerah yang didatanginya. Sebab sejarah itu diperlukan terutama guna memecahkan masalah-masalah yang terjadi karena masyarakat yang diselidikinya mengalami pengaruh dari suatu kebudayaan dari luar. Pengertian terhadap soal-soal tadi baru dapat dicapai apabila sejarah tentang proses pengaruh tadi diketahui juga dengan teliti. Selain itu untuk mengetahui tentang sejarah dari suatu proses perpaduan kebudayaan, seringkali terjadi bahwa sejarah tadi masih harus direkonstruksi sendiri oleh seorang peneliti. Dengan demikian seorang sarjana antropologi seringkali harus juga memiliki pengetahuan tentang metode-metode sejarah untuk merekonstruksi sautu sejarah dari suatu rangkaian peristiwa sejarah.

4.      Hubungan antropologi dengan ilmu geografi
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa Geografi atau ilmu bumi itu mencoba mencapai pengertian tentang keruangan (alam dunia) ini dengan memberi gambaran tentang bumi serta karakteristik dari segala macam bentuk hidup yang menduduki muka bumi. Di antara berbagai macam bentuk hidup di bumi yang berupa flora dan fauna itu terdapat mahluk manusia di mana ia mahluk manusia tersebut juga beraneka ragam sifatnya di muka bumi ini. Di sinilah antropologi berusaha menyelami keanekaragaman manusia jika dilihat dari ras, etnis, maupun budayanya (Koentjaraningrat,1981: 36).
Begitu juga sebaliknya, seorang sarjana antropologi sangat memerlukan ilmu geografi, karena tidak sedikit masalah-masalah manusia baik fisik maupun kebudayaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan alamnya.

5.      Hubungan antropologi dengan ilmu ekonomi
Kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam aktivitas kehidupan ekonominya sangat dipengaruhi sistem kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan dan sikap hidup dari warga masyarakat pedesaan tersebut. Masyarakat yang demikian itu, bagi seorang ahli ekonomi tidak akan dapat mempergunakan dengan sempurna konsepkonsep serta teori-teorinya tentang kekuatan, proses, dan hukum-hukum ekonomi tadi (yang sebenarnya dikembangkan dalam masyarakat Eropa-Amerika serta dalam rangka ekonomi internasional), jika tanpa suatu pengetahuan tentang sistem sosialnya, cara berpikir, pandangan dan sikap hidup dari warga masyarakat pedesaan tadi. Dengan demikian seorang ahli ekonomi yang akan membangun ekonomi di negara-negara serupa itu tentu akan memerlukan bahan komparatif mengenai, misalnya; sikap terhadap kerja, sikap terhadap kekayaan, sistem gotong-royong, dan sebagainya yang menyangkut bahan komparatif tentang berbagai unsure dari sitem kemasyarakatan di negara-negara tadi. Untuk pengumpulan keterangan komparatif tersebut ilmu antropologi memiliki manfaat yang tinggi bagi seorang ekonom.

6.      Hubungan  antropologi dengan ilmu politik
Hal ini bisa dilihat bahwa ilmu politik telah memperluas kajiannya pada hubungan antara kekuatan-kekuatan serta proses-proses politik dalam segala macam negara dengan berbagai macam sistem pemerintahan, sampai masalah-masalah yang menyangkut latar belakang sosial budaya dari kekuatan-kekuatan politik tersebut. Hal ini penting jika seorang ahli ilmu politik harus meneliti maupun menganalisis kekuatan-kekuatan politik di negara-negara yang sedang berkembang.
Dalam hal ini bisa diambil contoh; jika dalam suatu negara berkembang seperti Indonesia, terdapat suatu partai politik berdasarkan ideologi Islam misalnya, maka cara-cara partai itu berhubungan, bersaing, atau bekerja sama dengan partai-partai lain atau kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia, tidak hanya akan ditentukan oleh norma-norma dan metode perjuangan kepartaian yang lazim. Ditambah dengan prinsip-prinsip dan ideologi agama Islam, melainkan juga oleh latar belakang, sistem norma, dan adat-istiadat tradisional dari suku bangsa dari para pemimpin atau anggota partai, yang seringkali menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma kepartaian dan ideologi Islam. Agar dapat memahami latar belakang dan adat istiadat tradisional dari suku bangsa itulah, maka metode analisis antropologi menjadi penting bagi seorang ahli ilmu politik untuk mendapat pengertian tentang tingkah-laku dari partai politik yang ditelitinya.
Tentunya seorang ahli antropologi dalam hal mempelajari suatu masyarakat guna menulis sebuah deskripsi etnografi tentang masyarakat itu, pasti akan menghadapi sendiri pengaruh kekuatan-kekuatan dan proses politik lokal serta aktivitas dari cabang-cabang partai politik nasional. Dalam menganalisis fenomena-fenomena tersebut, ia perlu mengetahui konsep-konsep dan teori-teori dalam ilmu politik yang ada.

9.      Manfaat Belajar Antropologi Terhadap Administrasi Negara

1.      Ilmu antropologi untuk Mempelajari badan badan nasional
Pada akhir-akhir ini sarjana-sarjana antropologi pembahas pula masalah-masalah administrasi Negara. Dengan demikian terjadi pula pengaruh timbal balik antara ilmu administrasi Negara dengan ilmu antropologi. Ilmu antrolologi pentingnya pada dewasa ini untuk mempelajari administrasi negara dalam badan-badan nasional mengingat pada umumnya warganegara dari suatu Negara terdiri dari bermacam-macam suku yang memikili adat istiadat, watak, serta pola piker yang berlainan

2.      Ilmu antropologi memberi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik
Karena ilmu antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Maka dengan itu semua  pemerintah dapat mengetahui kehidupan masyarakat suatu daerah dan dapat membuat suatu kebijakan publik yang tepat dan akurat.
3.      antropologi mempengaruhi sistem administrasi negara di sebuah negara
di dalam ilmu administrasi negara, dikenal suatu konsep yaitu sistem administrasi negara. Setiap negara pasti memiliki sistem administrasi negara masing - masing. sistem ini tidaklah berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, termasuk dari ilmu antropologi. dengan kata lain, antropologi mempengaruhi sistem administrasi negara di sebuah negara.
ilmu antropologi itu sendiri mempelajari budaya yang ada di dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, budaya di dalam masyarakat tsb akan mempengaruhi sistem administrasi negara. misalnya saja di masyarakat negara maju, di mana lebih mengutamakan budaya profesionalisme. Budaya profesional ini akan turut mempengaruhi sistem administrasi negara sehingga para aparat di dalamnya menganut budaya profesional.
di sisi lain, di masyarkat negara berkembang yang cenderung lebih mengutamakan budaya kekeluargaan, budaya kekeluargaan juga akan mempengaruhi sistem administrasi negara. Contoh nya saja, mobil dinas malah digunakan untuk jalan - jalan keluarga. dan masih ada banyak contoh lainnya.

4.      Antropologi dapat mempelajari tentang tingkah laku partai politik
Untuk mempelajari tentang tingkah laku partai politik,kita haru mengetahui kekuatan-kekuatan serta proses-proses partai politik tersebut. Dalam hal ini bisa diambil contoh; jika dalam suatu negara berkembang seperti Indonesia, terdapat suatu partai politik berdasarkan ideologi Islam misalnya, maka cara-cara partai itu berhubungan, bersaing, atau bekerja sama dengan partai-partai lain atau kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia, tidak hanya akan ditentukan oleh norma-norma dan metode perjuangan kepartaian yang lazim. Ditambah dengan prinsip-prinsip dan ideologi agama Islam, melainkan juga oleh latar belakang, sistem norma, dan adat-istiadat tradisional dari suku bangsa dari para pemimpin atau anggota partai, yang seringkali menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma kepartaian dan ideologi Islam. Agar dapat memahami latar belakang dan adat istiadat tradisional dari suku bangsa itulah, maka metode analisis antropologi menjadi penting bagi seorang ahli ilmu politik untuk mendapat pengertian tentang tingkah-laku dari partai politik yang ditelitinya.

DAFTAR PUSTAKA

Supardan, Dadang. 2009. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta:Bumi Aksara.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/02/apa-hubungan-psikologi-dengan-ilmu-lain/
Kuntowijoyo.2005.    
Pengantar Ilmu Sejarah.Cetakan ke-5.Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Lubis, Nina. H. 2008.
Historiografi Barat.Cetakan ke-3.Bandung: Satya Historika.
Bodley, John H. “Anthropology.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.
Partner, Nancy F. “History and Historiography.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.
http://baehaqiarif.files.wordpress.com/2009/12/antropologi.pdf

Makalah Pengertian Antropologi dan Manfaatnya Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Pendidikan Bareng

0 komentar:

Posting Komentar